WELCOME

WELCOME TO MY BLOG
HOPE YOU ENJOY
Pink Skull Crossbones

Kamis, 26 Juli 2012

Martabat Sebuah Sekolah

Pernah mendengar sebuah sekolah yang membiarkan murid-muridnya membaca komik atau apa saja selain buku pelajaran beberapa jam sebelum memulai pelajaran? Di Jepang memang ada sekolah seperti itu, dan tujuan program tersebut untuk mengembangkan daya mencari inspirasi murid-murid agar pelajaran hari itu bisa mereka ikuti dengan pikiran fresh dan tidak pernah merasa terbeban.

Ada juga sebuah sekolah yang tidak begitu mementingkan pelajaran Matematika dan sebagainya, sekolah tersebut lebih dan sangat mementingkan pelajaran Orkes (Olahraga dan Kesehatan). Banyak sekali jenis-jenis sekolah dengan beragam ciri khasnya; ada sekolah yang memulai pelajaran jam sembilan pagi dan ada yang memulai dari jam tujuh, dan sebagainya.

Itu semua sebenarnya hanya intermeso saja agar kita tidak memulai topik tentang sekolah ini dengan urat menegangkan. Yang menjadi permasalahan disini adalah mengenai sikap kebanyakan sekolah di Indonesia (terlebih khusus sekolah negeri). Kebanyakan sekolah-sekolah negeri yang telah mendapat gelar seperti SBI, binsus, dan sebagainya akan bertingkah.

Sebut saja nama sebuah sekolah SMA N 3 Kota B yang telah mendapat gelar sekolah berstandar internasional, kemudian gelar yang didapat itu pun dijadikan ajang untuk menaikan martabat sekaligus gengsi dari sekolah. Sekolah SMA N 3 B mulai tidak menerima siswa-siswa dengan nilai raport dibawah rata-rata, mereka hanya menerima murid-murid pandai. Tidak berhenti sampai disitu, sekolah tersebut mulai memberi standar nilai sendiri yang bukan main tinggi untuk naik kelas. Memang terlihat sekolah international bukan? Tapi tunggu dulu, mari kita lihat kebodohan yang ada dibalik sekolah seperti ini.

Pertama mengenai penerimaan siswa-siswa pandai dan tidak menerima siswa dengan nilai dibawah rata-rata. Otomatis sistem seperti ini akan membuat sekolah ini manghasilkan siswa-siswa bermutu, namun itu bukan karena usaha para pengajar—sama sekali bukan—karena siswa-siswa yang belajar di sekolah ini memang siswa-siswa pandai, jadi bukan masalah lagi bagi mereka untuk belajar bahkan tanpa SMA N 3 B ini pun siswa-siswa ini tetap bisa meraih prestasi sesuai kepandaian mereka.

Hal tragis yang sering kali terjadi yaitu sekolah SMA N 3 B menumpangkan ketenaran dibalik kecerdasan siswa-siswa ini; (secara tidak langsung) bahwa siswa-siswa ini bisa berprestasi semenakjubkan ini karena mereka belajar di SMA N 3 B! Tidak adil kan?! Padahal mereka berada di sekolah lain pun yang tidak memiliki gelar SBI sekalipun tetap saja mereka akan mendapatkan prestasi menakjubkan atas kepandaian mereka.

Begini, andai siswa-siswa cerdas ini yang belajar dan hanya terdapat di SMA N 3 B ditukar dengan siswa-siswa biasa dan bahkan tolol dari sekolah lain. Apakah SMA N 3 B masih mampu mengeluarkan siswa-siswa yang cerdas? Omong kosong kalau ia.
Hal ini sangat patut kita pikirkan. Sekolah SBI seharusnya bukan sekolah yang bisa mengeluarkan murid-murid cerdas karena mereka hanya menerima murid-murid yang sebenarnya sudah cerdas. Tapi sekolah SBI seharusnya adalah sebuah sekolah yang mampu membentuk dan mengubah para siswa—entah mereka pandai atau tidak—menjadi berguna, berpendidikan, bermutu, dan terampil. Ini baru fungsi dari sekolah terlihat.

Apa kebanggaan dari sebuah sekolah bila mereka bisa mengeluarkan siswa berprestasi karena sejak semula mereka memang hanya menerima dan mengajar siswa yang memang sudah pintar? Namun mengubah seorang siswa yang mulanya bodoh dan tidak berguna namun karena sebuah sekolah tempat siswa ini belajar sehingga dia bisa terubah menjadi jauh lebih baik dan memiliki masa depan cerah, baru ini bisa diangkat jempol.

Tut wuri handayani…

»»  READMORE...

Rabu, 27 Juni 2012

Penyimpangan Nilai Dalam Lomba Antar Remaja

Banyak sekali kegiatan-kegiatan atau acara seperti lomba yang dilaksanakan baik oleh pemerintah atau sebuah institusi (gereja, pesantren, LSM, dll) yang bertujuan untuk memupuk dan mengasah kemampuan para remaja (usia 11-17 tahun) baik dalam hal kesenian, teknologi, komunikasi, bahasa, sains, dsb.
Kegiatan-kegiatan seperti ini memang sangat bermanfaat namun sayangnya tidak diimbangi dengan pola penilaian kreativitas yang adil sehingga manfaat dari kegiatan-kegiatan ini akhirnya menjadi semu dan tidak lagi murni.
Sebuah kegiatan misalnya lomba teater antar remaja yang mengharuskan partisipasi penuh dari remaja; mulai dari ide cerita, alur, tema, pemain, hingga sutradara yang semuanya harus diisi oleh para remaja (terkecuali pelatih). Namun pada prakteknya, para remaja hanya menjadi boneka yang dikendalikan para orang dewasa. Untuk menghasilkan sebuah cerita yang bergengsi diatas panggung, para remaja biasanya dan kebanyakan hanya menjadi pemain saja, aku lebih suka menyebutnya sebagai “boneka”, dikarenakan 85% partisipan yang membangun teater tersebut adalah orang dewasa, mulai dari sutradara, pelatih, pembuat cerita dan casting pemain, bahkan tidak jarang ada juga orang dewasa yang menyamar dan ikut menjadi pemain dalam sebuah pentas teater yang diperlombakan demi sebuah penampilan teater yang terlihat hebat.
Hal seperti ini memang membuat sebuah teater terlihat hebat (ya namanya saja ada campur tangan orang dewasa), tapi hal itu adalah hal yang semu karena tujuannya bukan lagi untuk mengasa kemampuan remaja tapi menjadi grup teater pemburu hadiah sehingga bisa dibilang grup teater yang seperti ini apabila dinilai juri dengan nilai yang bagus maka itu menjadi penilaian yang semu. Karena hal bagus yang terlihat didalam teater tersebut bukan lagi hasil karya para remaja tapi itu adalah buah pemikiran orang-orang dewasa yang bergerak dibalik bayang teater tersebut.

TRAGISNYA!
Anggap saja ada sebuah grup teater (kita sebut saja teater A) yang ikut dalam sebuah lomba teater. Grup teater ini murni semuanya terdiri dari para remaja bahkan yang membuat ide ceritanya adalah juga para remaja, sedangkan para orang dewasa dalam hal ini hanya berperan sebagai pengawas, penanggung jawab, dan pelatih.
Pelatih cukup melatih para remaja untuk hal-hal seperti pendalaman peran, meditasi, dan bagaimana membuat cerita itu terasa hidup, sedangkan diluar itu dikerjakan 100% oleh para remaja.
Grup teater A pun tampil diatas panggung sebuah lomba. Kemudian mereka bersaing dengan grup teater Z yang merupakan kontras dari grup teater A. Grup teater Z adalah grup yang disetir seutuhnya oleh orang-orang dewasa seperti yang disebutkan sebelumnya.
Hasilnya tentu saja akan sangat berbeda, grup teater Z jelas akan jauh lebih bagus dari grup teater A dikarenakan grup Z mengandalkan pikiran dan tenaga orang dewasa yang sudah pasti lebih ahli di bidang teater bila dibandingkan dengan grup teater A yang notabene adalah para remaja. Ujung-ujungnya grup Z menerima kemenangan semu, menerima predikat semu, menerima prestasi semu, dan menerima hasil yang semu. Tidak ada satupun remaja yang ter-asa kemampuan dan bakatnya, karena keberhasilan yang mereka peroleh tidak murni adalah kerja keras para remaja. Sedangkan grup A meskipun tidak mendapat nilai sebanding dengan grup Z namun grup A telah memberikan penampilan sejati dan apa-adanya yang mencerminkan karya remaja, dengan begitu grup A sebenarnya adalah pemenang sejati yang hanya perlu lebih berusaha dan bekerja keras dilain waktu.

Sama halnya dalam perlombaan koor; demi membuat sebuah grup koor yang hebat yang bisa mendapatkan juara dalam sebuah perlombaan, tidak jarang bahkan sering orang-orang dewasa menyamar menjadi remaja dengan alasan tidak ada remaja yang bisa memberikan suara bass yang optimal.
Namanya saja lomba koor antar remaja! Tentu saja grup-grup yang akan tampil tidak bisa dipaksakan sebagus dan sehebat penampilan grup koor orang dewasa, penilaiannya harus diubah sesuai karakteristik remaja pada umumnya, demi terlaksananya tujuan dari kegiatan-kegiatan atau lomba yang akan mengasa kemampuan para remaja di negara ini.
Berilah karya terbaik untuk sebuah kemajuan, bukan berkarya untuk sebuah hadiah dan keberhasilan yang semu!
»»  READMORE...

Minggu, 08 Januari 2012

Angels and Demons, Dan Brown


DAN BROWN, penulis yang memaparkan banyak teori konspirasi picisan tentang ketuhanan (segala agama) dan kekristenan. Apa yang dilakukan Brown hanyalah membuat rolling untuk mendata manusia-manusia berpandangan sempit di muka bumi, yaitu mereka yang termakan semua gagasan dalam sebuah novel fiksi terutama The Da Vinci's Code.

Melalui tokoh Robert Langdon yang fiktif, Brown memaparkan teori konspirasinya yang menentang kepercayaan Kristen yang dianut sebagian masyarakat dunia selama berabad-abad.

Dalam novel Angel and Demon, Brown menampilkan sebuah cerita dengan unsur pandangan yang sanggup menggaruk kepercayaan umat beragama mengenai ketuhanan.  Garis besarnya adalah bahwa sistem ketuhanan bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sehingga  melahirkan kesimpulan bahwa ketuhanan itu hanya mitos tanpa pembuktian real sedangkan ilmu pengetahuan adalah hal yang lebih masuk akal.

Tentu saja antara Tuhan dan ilmu pengetahuan tidak ada pertentangan apapun, hanya saja kuasa Tuhan terlalu melampaui logika standar manusia, ya itu sudah pasti.  Sedangkan posisi ilmu pengetahuan adalah merupakan sebagian kecil dari kemaha-kuasaan Tuhan yang sedikit demi sedikit digali dan dikenali oleh manusia.
Tidak mengherankan kalau masih banyak misteri yang belum terpecahkan di jagat raya ini karena terbatasnya kemampuan manusia dalam mengejar "pengetahuan" yang mencerminkan kekuasaan ketuhanan.

Kita pun harus mengakui bahwa manusia memiliki hak untuk percaya atas keyakinan atau atas kebodohan.



Buku Angels and Demons dibuka dengan suatu pandangan yang sama sekali tidak konsisten (kalau tidak bisa dibilang konyol);

"...resiko menjadi penulis buku-buku tentang simbologi religi adalah telepon dari para penganut sebuah agama yang fanatik yang ingin ia membenarkan keyakinan mereka kalau mereka baru saja menerima pertanda dari Tuhan. Bulan lalu, seorang penari telanjang dari Oklahama menjnjikan pelayanan seks habis-habisan kalau Langdon mau terbang ke rumahnya untuk memeriksa keaslian dari bentuk salib yang secara ajaib muncul di atas seprei rempat tidurnya..." (Hal. 16)

Pada mulanya Brown menegaskan bahwa "pengganggu" bagi seorang profesor seperti Robert Langdon adalah para penganut sebuah agama yang fanatik, namun selanjutnya Brown menulis bahwa salah satu dari "pengganggu" itu adalah seorang penari telanjang!  Bisakah dibayangkan seorang fanatisme bekerja sebagai penari telanjang?

Pada halaman 36, Brown menegaskan suatu perbedaan faham antara seorang akademis dan pendeta mengenai keajaiban. Uraian Brown teramat sempit karena sebenarnya antara keajaiban dengan kenyataan logika ilmu pengetahuan tidak pernah ada pertentangan.  Keajaiban hanyalah istilah manusia untuk menggambarkan suatu hal yang tidak sanggup mereka telan dengan akal yang terbatas.  Tapi apa sih yang tidak bisa dilakukan oleh Penguasa Alam Semesta?  Udara bergerak sebagai hembusan angin, bukankah itu salah satu keajaiban yang telah berhasil dipelajari para ahli?

Kejanggalan selanjutnya dalam buku Angels and Demons adalah pandangan mengenai Illuminati sebagai orang-orang yang tercerahkan dan melakukan perlawanan terhadap faham gereja Katolik pada tahun 1500-an yang agak melenceng dengan kebenaran Alkitab.  Illuminati adalah kumpulan orang dengan pikiran dan logika jernih, terbebas dari pengaruh ajaran tentang keajaiban dalam pengertian yang terlalu sempit.  Namun selanjutnya Illuminati digambarkan sebagai orang-orang atheis sebagaimana pada zaman sekarang, yaitu orang-orang yang mutlak menolak tentang adanya Penguasa dunia yang disebut Tuhan, padahal seorang Illuminatus terkenal seperti Galileo Galilei memiliki pemahaman kerohanian yang baik, bahkan mengeluarkan argumen mengagumkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama bergembira bersama dalam simetris Tuhan.

Ketidak-konsistenan tidak berhenti sampai di situ.  Pada halaman 50 dikatakan bahwa kaum Illuminati melakukan upacara-upacara atau ritual-ritual misterius (Lho?), padahal sebelumnya mereka digambarkan sebagai orang-orang yang realistis, kenapa sekarang malah melakukan praktek ritual seperti halnya agama-agama yang seharusnya mereka tolak?
Lambang Illuminati pun begitu diagungkan dari segi simetris yang "...belum ada ilmuwan yang benar-benar melihatnya... Para ahli simbologi modern sudah bertahun-tahun mencoba untuk menulis kata Illuminati dengan gaya simetris, tetapi mereka selalu gagal." (Hal. 47)
Kenyataannya dalam buku itu terdapat banyak simbol Illuminati dengan kesimetrisan yang mengagumkan.  Dari mana Brown mendapatkannya?
Padahal Brown telah bergebu-gebu menyatakan kalau semua informasi yang ada dalam novelnya yang fiksi adalah suatu fakta sesuai kenyataan. Nyatanya pernyataan bukunya sendiri bahwa lambang simetris dari Illuminati yang selama ini selalu gagal ditiru siapapun ternyata berhasil dengan gemilang dibuat oleh seorang seniman yang mendukung pembuatan novel Malaikat dan Iblis. Jadi benarkah isi novel itu sesuai kenyataan? Sejauh manakah pernyataan Dan Brown bisa dipegang kekonsistenannya?
»»  READMORE...