WELCOME

WELCOME TO MY BLOG
HOPE YOU ENJOY
Pink Skull Crossbones

Selasa, 06 September 2011

Kebahagiaan Anak Dikorupsi Orang Tua

Oleh: Ayu Wulandari

Dari beragam masalah rumah tangga, pemicu dasarnya hanya satu, yaitu: Ketidak-bijaksanaan kepala rumah tangga.  Misalnya: seorang anak yang terjerumus dalam ketergantungan pada narkoba biasanya dicap sebagai anak yang mencemarkan nama keluarga. Tapi tunggu dulu, apakah latar belakang dari perbuatan anak itu?
Seperti pepatah katakan, seorang anak adalah seperti "kertas putih polos", apapun jadinya, tergantung pada apa yang "dicoretkan" orang tua.
Adakah orang tua yang pernah merenungkan PEMICU kebebalan seorang anak? Biasanya, kesalahan selalu dilimpahkan pada 'si-bebal'.

Pada dasarnya, baik-buruknya seorang anak, tergantung pada pemeliharaan dan cara mendidik orang tua.
Memelihara anak tidak cukup hanya dengan memberi makan, menyekolahkan, memberi uang, dsb. Tapi lebih dari pada itu, seorang anak butuh perhatian yang benar sebagai wujud kasih sayang yang benar.
Apakah bisa dikatakan "kasih sayang" bila orang tua menyanjung anaknya saat suasana hati mom & dad sedang baik, tapi pada saat suasana 'panas hati', sanjungan-sanjungan itu seolah-olah tidak pernah ada? Apakah yang harus dipersalahkan? Keadaankah? Bila begitu, maka ini sangat tidak adil bagi si-anak.

Pada umumnya orang tua berkeinginan besar untuk melihat putra-putri nya bahagia. Tapi, justru yang terjadi malah orang tua memberi suatu "ketidak-bahagiaan" bagi anak demi ambisi mereka "melihat kebahagiaan anak". Tapi pada prakteknya mereka mencari kebahagiaan mereka sendiri.
Demi melihat anak menjadi cerdas, orang tua 'memaksakan' anak untuk masuk sekolah bergengsi, akhirnya anak yang mereka harapkan bisa menjadi cerdas justru tertekan karena nuraninya sama sekali tidak mau belajar dalam suasana ekstrim seperti yang didapat pada sekolah-sekolah bergengsi dalam prestasi, sang anak akhirnya hanya berenang dalam ketidak-nyamanan selama proses belajar. Inikah kebahagiaan yang ingin diberi orang tua? Hasilnya, anak tidak mendapatkan hasil yang memuaskan dalam pendidikan dan dia jatuh dalam depresi dan tekanan. Selain itu, harapan orang tua hancur, kemudian orang tua mulai mencap anaknya "tolol" dan "malas belajar", apakah ini adil? Seorang anak disebut bahagia bila dia berhasil meraih cita-citanya sendiri, dan dalam meraih cita-citanya tidak mungkin tidak ada benturan, namun disinilah peran orang tua untuk terus memberi dukungan, semangat, hiburan, kekuatan, dan harapan agar anak mereka tidak berputus asa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar